Peran Generasi Millenial Dalam Menyikapi Tahun Politik 2019

Oleh : Marwan Azis*

Generasi milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok
orang yang lahir setelah generasi X, terlahir pada kisaran tahun
1980-2000-an. Menurut Tapscott (2009), ada tiga pembagian generasi,
yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z
(1998-sekarang). Artinya, generasi milenial berumur antara 17-37 tahun.
Generasi ini sangat berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam
penguasaan teknologi.

Mereka lebih akrab dengan dunia maya, khususnya penggunaan media
sosial. Generasi milenial memiliki cirri khas tersendiri, ia terlahir
ketika era di mana sudah ada televisi berwarna, telepon seluler dan
internet. Sehingga generasi ini mahir dalam memanfaatkan teknologi
modern.

Berdasarkan data tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai
255 juta jiwa, sebanyak 81 juta di antaranya masuk kategori generasi
milenial. Dalam penguasaan media sosial, generasi milenial lebih
mendominasi ketimbang generasi X. Di sejumlah negara Generasi Milenial
bergerak di ranah politik, mereka turun ke jalan merespon berbagai
kondisi politik dan social di negara masing-masing.

Kaum milenial bukan generasi yang malu-malu, bukan penurut, dan tak
punya sikap. Dalam politik, generasi milenial sudah punya sikap yang
tegas, dan tak sungkan menyuarakan sikap politik mereka. Ini terjadi di
Amerika Serikat, Hong Kong,dan juga Indonesia.

Gerakan politik kaum milenial jadi fenomena global, termasuk terjadi
di Hong Kong. Adalah Nathan Law yang sudah menyuarakan sikap politiknya
sejak usia 15 tahun. Aksi prodemokrasi yang dilakukannya pada 2014
sempat melumpuhkan pusat bisnis di Hong Kong. Berkat aksi itu, generasi
muda di Hong Kong berhasil mendapatkan perhatian. Nathan Law pun
akhirnya bisa menjadi seorang anggota parlemen.

Pada Desember 2015,
Nathan Law menjadi pemberitaan karena memimpin pelajar dalam melakukan
aksi prodemokrasi di Hong Kong. Ia secara resmi terpilih menjadi anggota
parlemen pada 4 September 2016. Di usianya yang masih 23 tahun, ia
membuat kejutan dengan mengantongi 50 ribu suara yang mengantarkannya
menjadi anggota parlemen termuda di Hong Kong.

Generasi milenial memiliki sikap politik yang dinamis dan peduli.
Dalam hal ini, kebanyakan sikap politik mereka cenderung berbanding
terbalik dengan generasi sebelumnya. Meskipun tidak menutup kenyataan
bahwa masih menyisakan konservatisme. Derek Thompson kontributor untuk The Atlantis seperti dikutip Tirto.id menulis,
bahwa para generasi milenial, memiliki pandangan politik yang liberal,
bahkan berpihak di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialis.
Ini yang kemudian turut juga mendorong sikap politik mereka untuk lebih
terlibat merealisasikan pandangan politiknya atau memilih orang yang
mendekati dengan pandang mereka.

Di Indonesia, gerakan serupa juga ada. Teman Ahok adalah salah
satunya. Gerakan yang diinisiasi oleh kaum muda ini semula diniatkan
untuk mendorong Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju sebagai calon
gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Gerakan ini dimaksudkan
menciptakan pemimpin yang tidak punya utang budi kepada partai politik,
sehingga nantinya diharapkan bisa memimpin dengan lebih jernih dan
transparan, tanpa perlu beban membayar utang budi.

Teman Ahok berhasil mengumpulkan 1 juta KTP sehingga memenuhi syarat
untuk mengantarkan Ahok bisa maju sebagai calon independen di Pilgub DKI
2017. Sayangnya, upaya Teman Ahok ini tidak berujung bahagia karena
Ahok tetap memilih jalur parpol. Meski demikian, gerakan mereka
merepresentasikan bagaimana kaum milenial mau bersuara, bersikap, dan
berjuang. Soal hasil, para milenial ini masih harus belajar dari para
pendahulunya.

1.Karakter Generasi Milenial

Dalam perhelatan politik, terutama pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019, generasi milenial merupakan pemilih potensial (voter)
yang sangat berpotensi sebagai agen perubahan. Generasi milenial kelak
menjadi calon penerima estafet kepemimpinan bangsa. Terhadap kehidupan
politik, generasi milenial mempunyai karakter.

Pertama, mereka lebih melek teknologi tetapi cenderung
apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada partai, sulit
tunduk dan patuh instruksi. Generasi milenial cenderung tidak mudah
percaya pada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan
mempermainkan isu negatif di media sosial.

Kedua, generasi milenial cenderung berubah-ubah dalam
memberikan hak politiknya. Mereka cenderung lebih rasional, menyukai
perubahan dan antikemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik
kepada partai yang menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai
generasi muda.

2.Peran Generasi Milenial

Menurut Alexis de Toqcueville (2013), di negara demokrasi, setiap
generasi adalah manusia baru. Generasi baru ini pun mengisi kekosongan
gerakan politik Indonesia pasca-Orde Baru. Generasi milenial adalah
satu-satunya generasi yang disebut “digital native”, lahir dan tumbuh
berbarengan dengan berkembangnya teknologi.

Generasi ini lebih berpendidikan, terbuka pada perubahan terutama
pada perubahan iklim, hingga kebijakan pelayanan kesehatan. Mereka
menggunakan media sosial dan internet untuk berkomunikasi yang selangkah
lebih maju dari generasi sebelumnya. Mereka kelak akan melanjutkan
kepemimpinan bangsa ini karena mereka harus mempersiapkan diri, partai
politik juga harus mengandeng mereka, supaya mereka punya pengalaman
dalam dunia politik.

Perkembangan iptek yang semakin meningkat seiring membawa pada arah
pergerakan waktu yang mulai menggerus dari generasi ke generasi.
Perubahan pada generasi yang lebih menyukai modernitas ini tentunya
memiliki ruang tersendiri untuk menempatkan posisi mereka baik di bidang
sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Generasi Z mulai tergantikan
dengan keberadaan generasi milenial.

Berdasarkan pencatatan KPU, hasil rekapitulasi data pemilih potensial
dengan rentang usia 17-25 tahun kurang lebih mencapai 42 juta.

Dengan jumlah yang luar biasa ini tak heran jika, beberapa partai
mulai melirik kalangan muda dengan berbagai program pendidikan politik.

Diproyeksi generasi milenial akan memiliki pengaruh besar terhadap
hasil Pemilu Presiden 2019. Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia,
Hanta Yuda AR, dalam artikel berjudul Membaca Arah Pemilih Milenial,
menyatakan Pemilu 2019 akan diikuti oleh sekitar 40 persen pemilih usia
17 hingga 35 tahun (milenial).

Jumlah tersebut membuat generasi milenial menjadi “lahan” suara yang
menggiurkan dalam pertaruhan politik, dan berkemungkinan menjadi penentu
siapa yang bakal memenangi RI 1. Ini kemudian membuat peserta politik
berlomba untuk meraih semaksimal mungkin suara generasi ini.

Kendati begitu, meraup suara milenial bukanlah hal yang mudah. Sebab,
generasi milenial melek teknologi informasi, media sosial, internet,
serta memiliki latar belakang pendidikan cukup baik.

Hal ini menjadikan generasi milenial sebagai kekuatan politik yang
sangat berbeda dari kelompok politik dengan ideologi mapan dan
kepentingan tertentu. Meminjam istilah Hanta Yuda, mereka dikategorikan
sebagai pemilih galau.

Barang siapa berhasil menguasai preferensi politik anak muda hari ini
berpeluang besar memenangkan pemilu nanti. Kemunculan generasi muda
atau generasi dengan usia produktif sebagai kekuatan politik melebihi
analisis bahwa kekuatan politik Indonesia terdiri dari: rezim yang
sedang berkuasa, militer, dan kelompok Islamis.

Setidak ada empat faktor untuk membaca arah politik pemilih milenial:

  1. Potensi partisipasi politik dan kemantapan pilihan,
  2. Sensitivitas pada isu sosial/kebijakan,
  3. Preferensi terhadap kandidat dan pilihan politik dalam pemilu, seperti karakter kandidat yang disukai.
  4. Soal bisakah calon nanti memenuhi dan mengerti kebutuhan dan pola
    pikir pemilih, terutama kelompok milenial. Lebih lanjut, kebutuhan
    tersebut di antaranya adalah lapangan pekerjaan dan wadah kreativitas
    bagi milenial.

Tak bisa dihindari bahwa media sosial sudah menjadi media utama
infomasi kaum milenial. Oleh karena itu, kehadiran milenial yang menjadi
pemicu keikutsertaan permasalahan ini perlu dibina dengan tidak
menjejali informasi yang tak bermutu demi kepentingan. Kehadiran kaum
milenial harus mendapatkan rangkulan penuh dari pemerintah. Sebagai
generasi penerus bangsa yang akan membawa perubahan pola pikir negara
nanti, tentunya pemerintah harus menerapkan budaya literasi kepada kaum
milenial.

Catatan Saran Buat Generasi Milenial Dalam Menyikapi Memomentum Politik 2019 :

1) Generasi Milenial harus memanfaatkan momentum politik 2019 baik
pada pemilihan legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Saatnya
kalian memanfaatkan momen tersebut dengan terlibat aktif dalam momentum
tersebut, apalagi tak sedikit generasi milenial yang mencalon diri di
pileg 2019 baik ditingkat DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi hingga
DPR-RI. Karena peran kalian akan menentukan arah dan keberlanjutan
bangsa ini.

2) Generasi Milenial yang bergantung pada internet harus bijak untuk
memilah informasi tersebut agar suara mereka tersalurkan secara tepat.

3) Generasi Milenial juga sebaiknya pandai-pandai menyaring informasi
yang banyak berserakan di internet, bisa memilah mana yang fakta dan
mana hoax, kalian bisa memanfaatkan platform https://cekfakta.com/ yang diinisiasi sejumlah pengelola media online di Indonesia yang juga didukung oleh Google.

4) Generasi Milenial, sebelum menuntukan pilihan, sebaiknya pelajari
jejak rekam calon baik di pileg maupun pada pilpres 2019 mendatang, agar
tidak salah memilih.

Terimakasih. ***

Penulis adalah Pemerhati Politik serta alumnus HMI yang berdomisili di Jakarta.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *