PURWOKERTO, KABAR.ID- Keberadaan rentenir yang biasa disebut masyarakat di
wilayah eks-Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah, dengan nama bank plecit atau bank ucek-ucek sering kali meresahkan karena memberikan pinjaman dana dengan bunga yang sangat tinggi.
Berbagai kemudahan seperti pinjaman tanpa agunan, cepat, dan
prosesnya tidak ribet selalu menjadi andalan rentenir untuk menjerat
masyarakat khususnya pedagang kecil atau pelaku usaha mikro yang
membutuhkan modal.
Tidak sedikit masyarakat yang tergiur dengan iming-iming yang
ditawarkan rentenir meskipun sebenarnya mereka sadar bahwa bunga
pinjamannya sangat tinggi, bahkan melebihi bunga pinjaman yang
ditawarkan perbankan dan lembaga keuangan resmi lainnya.
Sebut saja, Suwarti, pedagang sayuran dan buah di Pasar Kliwon,
Kelurahan Karanglewas Lor, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten
Banyumas, yang sudah bertahun-tahun menggunakan jasa rentenir.
“Saya menjadi pedagang sejak tahun 1970-an dan sudah bertahun-tahun
menggunakan jasa mereka (rentenir). Biasanya saya utang sebesar Rp500
ribu, kadang sampai Rp1 juta, sedangkan bunganya berkisar 12-20 persen
per bulan,” katanya seperti dikutip dari Antara.
Kendati sadar bahwa bunga yang diberikan rentenir sangat tinggi, dia mengaku tidak ada pilihan lain selain berhubungan dengan bank plecit itu terutama saat ada kebutuhan mendesak.
“Saya pernah coba pinjam ke bank, tapi persyaratannya ribet. Akhirnya saya kembali pinjam ke bank plecit,” ujarnya.
Pengalaman Suwarti dan pedagang-pedagang kecil lainnya yang terjerat
rentenir itu menjadikan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Purwokerto
dan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Kabupaten Banyumas
terus berupaya mengedukasi masyarakat untuk tidak tergiur dengan tawaran
bank plecit.
Bahkan, Kantor OJK Purwokerto sejak tahun 2017 telah meluncurkan
program Layanan Keuangan sebagai Upaya Memberantas Rentenir (Laku
Semar).
Kepala Kantor OJK Purwokerto Sumarlan mengatakan saat sekarang sudah
ada TPAKD yang sebenarnya merupakan upaya untuk mempercepat akses
masyarakat kepada lembaga keuangan formal.
Dengan demikian, saat sekarang telah banyak pedagang yang beralih dari rentenir ke lembaga keuangan formal.
“Bank umum, BPR, maupun lembaga keuangan formal lainnya sebenarnya
bisa melakukan penarikan secara harian (seperti halnya yang dilakukan
rentenir) karena itu hanya teknis saja,” katanya.
Ia mengatakan pihaknya mendorong perbankan dan lembaga keuangan
formal lainnya untuk masuk ke skim-skim kredit bagi pedagang kecil,
salah satunya melalui program Laku Semar yang digagas Kantor OJK
Purwokerto.
Menurut dia, perbankan yang melayani program Laku Semar tidak
memberlakukan agunan, suku bunga yang diberikan cukup murah, dan
plafonnya terjangkau oleh pedagang-pedagang kecil.
Dalam hal ini, program Laku Semar memiliki karakteristik berupa
plafon kredit berkisar Rp100 ribu hingga Rp3 juta dengan besaran
pinjaman menyesuaikan jenis dagangan dan lokasi dagang, suku bunga
maksimal 2 persen per bulan dan biaya administrasi 1 persen, dapat tanpa
agunan tambahan dan wajib memiliki usaha khususnya di pasar, jangka
waktu pinjaman maksimal 2 tahun, analisis kredit serta perjanjian
kredit/akad dibuat khusus dan lebih sederhana, angsuran dapat dilakukan
harian atau mingguan, serta pencairan pinjaman dapat dilakukan di tempat
usaha debitur.
Berdasarkan data penyaluran Laku Semar per Juni 2019 yang tercatat di
Kantor OJK Purwokerto, plafon kredit mencapai Rp13,702 miliar, baki
debit Rp7,308 miliar, jumlah nasabah 5.369 rekening, dan jumlah BPR/BPRS
penyalur Laku Semar sebanyak 23 lembaga.
Sumarlan mengatakan jika seluruh masyarakat sadar dan tidak lagi
terjerat rentenir, kesejahteraan bisa lebih baik dan kegiatan usahanya
pun dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat untuk memilih dan
memanfaatkan lembaga jasa keuangan yang formal dalam memenuhi kebutuhan
permodalan.
Kepala Pasar Kliwon Erlin Darmawan mengatakan Perusahaan Daerah Pasar
Satria selaku pengelola Pasar Kliwon berusaha mengantisipasi agar
pedagang tidak terjerat rentenir.
“Salah satunya melalui koperasi dengan memberikan pinjaman tanpa
bunga. Kemudian dari BPR-BKK dan BRI juga sudah hadir di sini. BPR-BKK
Purwokerto juga telah memberikan layanan pinjaman tanpa agunan sehingga
dapat mempersempit ruang gerak rentenir di Pasar Kliwon,” katanya
Berdasarkan pantauan, kata dia, di Pasar Kliwon semula ada 18
rentenir yang beroperasi namun saat sekarang tinggal 5-6 orang rentenir
karena pasarnya berkurang seiring dengan adanya kemudahan pinjaman dari
perbankan.
Menyasar Ibu Rumah Tangga
Jebakan-jebakan rentenir saat sekarang tidak hanya menyasar pedagang
kecil maupun pelaku usaha mikro karena ibu rumah tangga pun banyak yang
terjerat bank plecit seperti halnya yang terjadi di Desa Panembangan,
Kecamatan Cilongok, Banyumas.
Oleh karena saking banyaknya ibu rumah tangga yang terjerat rentenir,
di salah satu sudut persimpangan jalan sebelah utara Balai Desa
Panembangan terpasang papan larangan bank plecit masuk ke wilayah RW 01.
Kepala Desa Panembangan Untung Sanyoto mengatakan pemasangan papan
larangan terhadap rentenir yang sudah berlangsung sekitar lima tahun itu
bukan dilakukan oleh Pemerintah Desa Panembangan, melainkan dipasang
oleh pengurus lingkungan setempat.
“Kebetulan saya tinggal di lingkungan RT 01/RW 01,” kata dia yang
baru 3 bulan menjadi kades setelah menang dalam Pemilihan Kepala Desa
Panembangan yang dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2019.
Menurut dia, pemasangan papan larangan terhadap rentenir itu
dilakukan karena banyak ibu rumah tangga di lingkungan RW 01 yang
terjerat utang kepada bank plecit tanpa sepengetahuan suaminya yang
mayoritas bekerja sebagai petani. Ibu-ibu rumah tangga yang terjerat
rentenir ini tidak memiliki pekerjaan atau kesibukan lainnya, sedangkan
uang pinjamannya digunakan untuk kebutuhan konsumtif.
Bahkan, sering kali ditemukan ibu rumah tangga yang terjerat utang
kepada lebih dari satu orang rentenir sehingga setiap harinya harus
mengalokasikan anggaran dengan jumlah tertentu untuk membayar angsuran
kepada rentenir-rentenir itu.
“Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya permasalahan rumah tangga
dan kadang terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) setelah si suami
mengetahui istrinya terjerat rentenir. Kalau yang berujung ke perceraian
sih belum ada, paling KDRT. Oleh karena itu, pengurus lingkungan
berinisiatif memasang papan larangan tersebut,” katanya.
Untung mengakui jika di Desa Panembangan ada beberapa wilayah yang
rawan terhadap rentenir, namun yang paling parah berada di lingkungan RW
01.
Terkait dengan hal itu, dia mengaku ingin membuat peraturan desa
(perdes) yang melarang rentenir beroperasi di Desa Panembangan sebagai
upaya melindungi warga dari jeratan bank plecit.
Akan tetapi, dia masih memikirkan solusi yang harus diberikan kepada
warga setelah peraturan desa tersebut diterapkan. “Mungkin solusinya
adalah penyediaan lapangan pekerjaan untuk ibu-ibu rumah tangga,”
katanya.
Menurut dia, aktivitas rentenir di Desa Panembangan sempat menghilang
saat para ibu rumah tangga terlibat dalam plasma perusahaan bulu mata
palsu asal Purbalingga.
“Namun setelah plasma bulu mata palsu itu tidak lagi berjalan
sehingga ibu-ibu rumah tangga itu tidak memiliki pekerjaan, rentenir pun
kembali bermunculan. Jadi, solusinya mungkin berupa penyediaan lapangan
pekerjaan dan kami butuh dukungan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas
maupun OJK Purwokerto untuk mengatasi masalah rentenir ini,” katanya.
Kesadaran masyarakat untuk menolak rentenir biasanya terbangun setelah mereka terjerat utang pada bank plecit itu.
Jika seluruh masyarakat sadar bahwa rentenir merugikan sehingga mereka beralih ke lembaga jasa keuangan resmi, maka bank plecit, bank ucek-ucek, bank harian, lintah darat, dan sejenisnya akan menghilang dengan sendirinya.
Dengan meminjam di perbankan atau lembaga jasa keuangan resmi
lainnya, kesejahteraan masyarakat dan usaha yang dilakukan akan lebih
baik lagi karena suku bunga yang diberikan jauh lebih rendah dari
rentenir. (Ant/KB)