JAKARTA, KABAR.ID- Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo menyatakan perlu ada kajian
yang mendalam mengenai larangan cantrang karena sangat penting untuk
dapat menyeimbangkan antara faktor kelestarian lingkungan dengan aktivitas
ekonomi warga di sejumlah daerah.
Menteri Edhy dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu,
menyatakan bahwa untuk dapat diterima secara umum, perlu ada pengkajian
lebih dalam dan pemaparan lebih gamblang terkait alasan mengapa cantrang
dilarang.
Menteri Edhy menyampaikan hak tersebut saat menerima sejumlah pelaku
usaha perikanan di Kantor KKP, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan dari pelaku usaha perikanan
Pati-Juwana, Jawa Tengah, mendiskusikan persoalan pelarangan penggunaan
alat tangkap cantrang yang dinilai merusak lingkungan.
Pelaku usaha yang hadir pun menyebut, sebenarnya mereka sudah
mengikuti program peralihan alat tangkap yang sebelumnya dicanangkan
KKP, namun beberapa pelaku usaha terkendala pembiayaan peralihan.
Dalam pengoperasiannya, para pelaku jsaha mengakui kalau cantrang
memiliki dampak merusak, meskipun mereka sebut tidak separah penggunaan
trawl. Cantrang dapat mengenai karang hias (coral), tetapi tidak merusak
terumbu karang (coral reef).
“Kita ingin menyeimbangkan isu lingkungan dengan isu mata pencaharian
Bapak semua. Saya tidak ingin mengabaikan salah satunya. Jadi sebelum
aturan dijalankan, kami akan buatkan dulu solusinya,” kata Menteri Edhy.
Sebelumnya, Pemerintah diharapkan dapat terus tegas dalam menindak
kalangan pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan yang masih
menggunakan alat tangkap jenis trawl yang diketahui merusak ekosistem
laut serta berpotensi memicu konflik horizontal antarsesama nelayan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh
Abdi Suhufan mengatakan berdasarkan data yang ada, penggunaan trawl di
sejumlah daerah masih cukup banyak.
Moh Abdi Suhufan mencontohkan di kawasan perairan sekitar Lamongan,
Jawa Timur, penggunaan alat tangkap trawl ini sering mengganggu
aktivitas penangkapan kepiting rajungan yang banyak dilakukan nelayan
setempat.
Dengan adanya gangguan tersebut, lanjutnya, maka potensi terjadinya konflik – nelayan trawl dan rajungan juga sangat besar.
“Saat ini terdapat sekitar 500 kapal ikan ukuran di bawah 5 GT (Gross
Tonnage) yang beroperasi menggunakan trawl di perairan Lamongan,” kata
Abdi seperti dikutip dari Antara.
Sementara itu, peneliti Destructive Fishing Watch Indonesia Laode
Gunawan Giu mengatakan bahwa selain penggunaan trawl, pemerintah juga
belum bersikap tegas terhadap pelarangan penggunaan alat tangkap
cantrang di Jawa Timur.
“Sekitar kurang lebih 900 kapal ikan ukuran di bawah 30 GT di Lamongan yang beroperasi secara ilegal,” kata Laode Gunawan.
Menurut dia, saat ini masih terdapat kegamangan dari pemerintah pusat
dan daerah serta aparat penegak hukum untuk secara tegas melaksanakan
regulasi pelarangan alat tangkap cantrang.
“Pelarangan trawl dan cantrang akhirnya menjadi banci sebab di lapangan penggunaannya masih tetap ada,” ujarnya. (Ant/KB)