JAKARTA, KABAR.ID- Keinginan Presiden Joko Widodo yang berencana mengundang Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM), yang merupakan organisasi resmi kampus, di Istana bertepuk
sebelah tangan.
Koordinator
Pusat Aliansi BEM seluruh Indonesia, Muhammad Nurdiyansyah menegaskan mereka
menolak ajakan itu. Presiden Mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini
justru sedang berada di Yogyakarta pada Jumat siang.
Menurut
Nurdiyansyah, pertimbangan terbesar adalah persoalan etika. Saat ini, kalangan
mahasiswa sedang berduka karena meninggalnya dua rekan mereka di Kendari,
Sulawesi Tenggara. Seperti diketahui, Himawan Randi dan Muhammad Yusuf Qardawi,
mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, meninggal setelah mahasiswa setempat
menggelar aksi pada Kamis (26/9).
Alasan
kedua, kata Nurdiyansyah, karena mahasiswa memiliki pengalaman buruk terkait
pertemuan dengan Presiden sebelum ini. Pada 2015, Aliansi BEM SI sempat
diundang ke Istana untuk hal yang sama.
“Kami
mengambil pembelajaran dari sana, karena diadakan di forum tertutup di Istana,
dan alhasil gerakan mahasiswa pecah,” kata Nurdiyansyah.
Dalam
sejarahnya, BEM berbagai universitas memang pernah bertemu dengan Jokowi pada
18 Mei 2015 di Jakarta. Pertemuan itu dilakukan untuk meredam rencana aksi
mahasiswa yang akan digelar pada 20 Mei. Dalam penjelasan kepada media seusai
bertemu, para aktivis kampus ketika itu mengatakan, sebagian merasa puas dengan
hasil pertemuan, sebagian lagi tidak. Pertemuan itu dinilai justru merugikan gerakan
mahasiswa yang kemudian terpecah suaranya.
“Pada
dasarnya konsentrasi, tujuan dan fokus kami bukan pada pertemuan dengan
Presiden Jokowi. Tetapi harapannya Presiden dapat memenuhi tuntutan yang sudah
kami layangkan dengan sangat jelas,” tambah Nurdiyansyah.
Dalam
keterangan lebih lanjut, Aliansi BEM Seluruh Indonesia menawarkan dua syarat
jika Presiden menghendaki pertemuan dengan mereka. Pertama, pertemuan itu harus
dilakukan secara terbuka dan disiarkan secara langsung. Tujuannya adalah agar
seluruh masyarakat bisa mengikuti diskusi yang terjadi – Presiden dan
mahasiswa. Selain itu, aliansi juga meminta Presiden memenuhi tuntutan Maklumat
Tuntaskan Reformasi, yang sudah disampaikan melalui berbagai media dan aksi di
jalan.
Presiden
Keluarga Mahasiswa UGM, M. Atiatul Muqtadir, menguatkan sikap yang diambil
Aliansi BEM Seluruh Indonesia. Dia juga memberi catatan mengenai pertimbangan
etis dan metode pertemuan, yang membuat undangan Jokowi pada Jumat ini tidak
dapat dipenuhi.
Aktivis
yang akrab dipanggil Fathur itu, menyayangkan undangan hanya ditujukan kepada
mahasiswa. Seharusnya, pihak-pihak lain juga diundang.
“Saya
rasa ini adalah kegagalan melihat bahwa aksi demonstrasi kemarin bukan hanya melibatkan
mahasiswa, tetapi juga ada petani, ada buruh. Ada elemen masyarakat lain, yang
bagi saya juga harus diberi ruang untuk menyampaikan tuntutan pada Presiden,”
kata Fathur.
Lebih
jauh dari itu, Fathur juga melihat sikap Presiden tidak sepenuhnya menunjukkan
itikad baik. Alasan Fathur karena di satu sisi Presiden Jokowi menyampaikan
apresiasi, tapi di lain pihak juga menginstruksikan Menristekdikti untuk “mengkondisikan” kampus-kampus.
“Dan
kemudian juga dari aparat melakukan represi dengan meneror, menangkap dan juga
menahan masa aksi dan aktivis,” tambah Fathur.
Kegelisahan
Fathur itu tak lepas dari pernyataan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir. Usai bertemu Jokowi pada Kamis (26/9),
Nasir tegas meminta rektor mencegah mahasiswa kembali berdemo.
Nasir
bahkan akan memberi sanksi kepada rektor yang menggerakkan mahasiswa turun ke
jalan. Ancaman yang sama diberikan kepada dosen yang mengizinkan mahasiswa di
kelasnya untuk bergabung dalam aksi Sanksi akan disesuaikan.
“Kalau
dia mengerahkan sanksinya keras. Sanksi keras ada dua, bisa SP1, SP2. Kalau
sampai menyebabkan kerugian pada negara dan sebagainya ini bisa tindakan
hukum,” kata Nasir.
“Kalau
dia (rektor) tidak menindak, rektornya yang kami tindak. Makanya saya akan
monitor terus perkembangan ini,” tambahnya lagi kepada media yang menemuinya di
halaman Istana Kepresidenan.
Rektor
Universitas Negeri Yogyakarta Sutrisna Wibawa menyambut baik perintah Menteri
Nasir itu. Dia mengatakan, sebelum adaimbauan menteri, para rektor di Yogyakarta
sudah membuat surat edaran yang intinya menolak aksi semacam itu. Surat edaran
itu keluar pada Senin (23/9) pagi, beberapa jam sebelum 20 ribu mahasiswa Yogya
menggelar aksi #gejayanmemanggil.
“Kita
mesti mengedepankan dialog, diskusi. Termasuk mahasiswa saya di UNY juga
begitu,” kata Sutrisna. Dia menegaskan bahwa para mahasiswa yang turun ke jalan
pada Senin (23/6), melakukan aksi atas nama pribadi dan bukan atas nama
lembaga.
“Secara
kelembagaan kami sudah melarang untuk turun ke jalan. Saya mengedepankan bikin
saja FGD (Focus Group Discussion) kemudian hasilnya kami sampaikan
sehingga konkret secara akademis,” ujar Sutrisna. [ns/ab/voa/mj]