BINJAI, KABAR.ID- Pasca social media menggeliat, munculah para buzzer yang belakangan ini aktivitasnya cukup merisaukan terutama di ranah politik, bahkan keberadaan buzzer yang yang cenderung memenuhi social media dengan konten-konten negatif dinilai sudah merusak tatanan demokrasi.
Istilah Buzzer politik akhir-akhir ini cukup hangat kehadirannya di media Sosial. Terutama saat pilpres, pileg dan pilkada.
Istilah buzzer diidentikkan sebagai orang bayaran yang menggunakan media sosial untuk melakukan framing isu seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap kepentingan tertentu sesuai dengan permintaan pemesannya (klien).
Kehadiran buzzer politik dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan politik di ajang pesta demokrasi. Pilihan rakyat ini bisa dikemas oleh buzzer politik untuk membaik-baikkan permintaan sang pemesan dan menjelek-jelekkan lawan politiknya.
Demikian diungkapkan HM. Ali Umri, SH., M.Kn anggota DPR RI Periode 2014-2019 pada Seminar Merajut Nusantara yang diselenggarakan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikas dan Informasi (BAKTI) KOMINFO RI yang bertajuk “Menyikapi Kehadiran Buzzer Politik di Media Sosial” yang digelar di Graha Kardopa Hotel & Convention Kota Binjai, Selasa (29/10/2019).
Ali menyinggung bahwa panggung politik saat ini sudah diwarnai buzzer politik yang mengisi media sosial, sehingga penggunaan jasa buzzer politik itu sama halnya seperti kita menggunakan jasa sales marketing. Tujuanya untuk menjual atau mempromosikan barang tertentu. Bedanya sales menjual barang produksi sedangkan buzzer menjual citra politisi sebagai alat untuk kampanye.
“Keberadaan mereka banyak di media sosial, namun tidak terlihat seperti apa rupa dan bentuk dari mereka sehingga masyarakat mudah termakan framing yang diproduksi buzzer,” ungkapnya.
Karena itu, buzzer politik sudah menjadi komoditas untuk meraup keuntungan materi. Mereka tidak lagi mempertimbangkan siapa klien mereka, asal mendapat tawaran dan tarif yang sesuai maka mereka akan menjadi mesin politik yang cukup bringas untuk menyerang lawan maupun mempertahakan klien mereka.
“Tak ayal, dalam ajang pilpres, pileg dan terlebih menjelang pilkada Binjai kemunculan buzzer politik ini sangat agresif memenuhi medsos memprovokasi masyarakat dengan framingnya,” ujar mantan Walikota Binjai dua periode ini.
Karena itu, Ali Umri menyerukan kepada masyarakat agar lebih objektif dalam mencerna komunikasi di ruang publik terlebih di media sosial agar jangan mudah terpesona dengan pencitraan calon kepala daerah dan politisi. Umri menyeru penggunaan internet sehat di masyarakat.
“Saya juga pernah menjadi korban ulah buzzer ketika itu. Menjelang hari pencoblosan ketika saya mencalonkan gubernur sumut, tiba-tiba diserang dengan berita bahwa saya memiliki istri banyak. Situasi ini langsung menggerus perolehan suara saya karena kaum perempuan termakan framing berita negatif tersebut,” ungkap Ali yang pernah maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara tahun 2008 silam.
Sebagai tokoh masyarakat Binjai, Ali Umri mengingatkan bahwa jasa buzzer dalam penggiringan isu sangatlah besar terutama bagi pemesannya. Upaya yang sering dilakukan oleh buzzer politik adalah dengan selalu mencari sisi negatif dari lawan-lawan politik pemesannya. Lalu menyerang secara bersamaan dengan puluhan bahkan ratusan akun yang berbeda di media sosial.
“Sebentar lagi pilkada Binjai, mari jaga kondusivitas masyarakat. Jangan sampai masyarakat hanya menerima profiling calon walikota dari settingan para buzzer,” tegasnya.
Ali Umri juga menjelaskan bahwa fenomena buzzer politik yang dibumbui dengan politik uang akan
semakin merusak tatanan demokrasi. Karena bisa jadi yang terpilih itu adalah orang yang tidak pernah turun ke masyarakat.
“Masyarakat jangan mau jadi korban buzzer politik, karena tak selamanya yang didengungkan buzzer itu benar adanya. Bisa jadi orang yang baik-baik di masyarakat bisa dimiringkan citranya oleh buzzer ini sehingga mempengaruhi pilihan masyarakat,” katanya. (Wan)